Labels

Tuesday, August 03, 2010

Aigis Telah Melewati Masa-masa Sulit Itu...

JAKARTA, KOMPAS.com – Sepintas, Aigis Arira (21) terlihat seperti mahasiswa pada umumnya. Kini, ia menempuh semester 7 jurusan di Institut Teknologi Harapan, Bandung. Tak ada yang menduga bahwa ia seorang penyandang disleksia.

Pada beberapa fase hidupnya, Aigis pernah mengalami masa-masa sulit. Saat ia dianggap memiliki hambatan belajar. Sesuatu yang menurutnya biasa-biasa saja. Tetapi, tak biasa bagi orang-orang sekitarnya. Saat menginjak kelas 3 SD, orangtuanya baru menyadari bahwa Aigis mengalami perkembangan yang berbeda dari anak-anak sebayanya. Ia menceritakan, awalnya, ia menempuh sekolah dasar di SD Cinere 03 pada tahun 1995-1997.

“Di sini, saya pribadi tidak merasakan kesulitan di dalam diri saya. Tetapi, di mata orang sekeliling saya, mereka berpendapat lain. Saya tidak bisa membedakan ‘b’ dan ‘d’ bahkan sering kebalik, menyalin suka salah, padahal saya duduk paling depan. Menghafal perkalian dan pembagian saya tidak bisa, menggambar kubus hasilnya bisa trapesium,” kisah Aigis, dalam sebuah seminar nasional mengenai disleksia, di Jakarta, akhir pekan lalu.

Aigis juga mengalami hambatan dalam mengutarakan pendapatnya, sehingga berakibat ia malu bertanya dan tidak bisa bergaul dengan teman-temannya. “Sayangnya, tidak banyak yang mengetahui kondisi saya, bila orangtua saya tidak mencari info, maka mungkin sampai sekarang tidak akan tahu bahwa saya mempunyai sesuatu yang unik,” ujarnya.

Menyadari ada kekhususan yang dibutuhkan anaknya, orangtua Aigis kemudian memindahkannya ke sekolah khusus, SD Pantara, yang menangani anak-anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik (specific learning difficulties/LD). Di sekolah ini, Aigis lebih merasakan kenyamanan karena mendapat penanganan khusus dan lingkungan yang lebih kondusif. Pendidikan dasarpun berhasil ditamatkannya.

Melanjutkan ke SMP Umum

Masa SMP dirasakan Aigis adalah masa terberatnya. Setamat SD, Aigis dan keluarganya hijrah ke Bandung. Disana, Aigis tak lagi mengenyam pendidikan di sekolah khusus. Ia kembali melanjutkan ke sekolah umum, SMPN 4 Cimahi. Pada masa SMP inilah, Aigis diberitahu oleh orangtuanya bahwa ia seorang penyandang disleksia. “Ketika SMP, orangtua saya baru menjelaskan bahwa kondisi saya seperti ini, seperti ini. Inilah titik terberat yang saya alami, karena harus sekolah di sekolah umum, beda dengan SD saya yang muridnya sedikit,” kata Aigis.

Ia pun harus beradaptasi. Dari semula di SD hanya memiliki teman 8 orang dalam satu kelas dengan dua guru, kini 44 orang orang dengan satu guru. “Waktu SMP, saya selalu memilih duduk di belakang karena takut ditanya guru,” ujarnya enteng.

Bagaimana prestasi belajarnya? “Saya ranking 44 dari 44 murid. Lumayanlah, ada rankingnya, daripada enggak ranking,” kata Aigis sambil tertawa.
Tetapi, saat SMP ini, dorongan orangtua sangat kuat dirasakan Aigis. Ia diminta hanya mencatat seluruh pelajaran dan perkataan gurunya. “Saya belajarnya di rumah, dengan orangtua saya,” kata gadis hitam manis ini.

SMA Juara Mengetik 10 Jari

Memasuki jenjang pendidikan menengah atas, Aigis merasa sudah lebih bisa cepat beradaptasi dengan lingkungannya. Ia melanjutkan ke SMK dengan jurusan RPL alias Rekayasa Perangkat Lunak. Ya, Aigis memang suka dengan segala seuatu yang berhubungan dengan computer. Lagipula, sekolah kejuruan dianggapnya sebagai pilihan tepat karena tak harus berhadapan dengan pelajaran-pelajaran di sekolah umum yang dirasanya sangat sulit.

“Selain itu, jumlah muridnya hanya 28 orang per kelas ditambah dengan pembagian jurusan menjadikan perbandingan guru dan murid menjadi lebih sedikit. Di sekolah ini pelajaran praktek lebih banyak daripada teori sehingga pemahaman mata pelajaran terasa lebih nyata,” ujarnya.

Prestasii sekolahnya pun bisa menyamai nilai rata-rata di kelasnya. Hal inilah yang membuat Aigis semakin termotivasi dan percaya diri. Di masa ini pula, Aigis meraih prestasi yang sangat membanggakan orangtua dan dirinya sendiri : juara untuk pelajaran mengetik sepuluh jari (blind system). “Saya mendapatkan point tertinggi di sekolah. Padahal, untuk menghafalkan abjad dari A sampai Z saya masih belum bisa. Dan sampai saat ini pun saya tidak mengerti kenapa saya bisa juara,” kata Aigis.

Selepas menamatkan pendidikan menengah atasnya, Aigis akhirnya memilih untuk melanjutkan pendidikan dengan jurusan Ilmu Komputer di Institut Teknologi Harapan, Bandung. Di masa ini, bantuan materi pelajaran dari orangtua sudah sangat terkurangi. Aigis lebih didorong secara motivasi. Ia pun menyadari bahwa ia harus mandiri. Prestasi belajar Aigis pun, hingga menginjak semester VII tak jauh berbeda dengan teman seangkatannya. Kini, Aigis tengah menyusun skripsi untuk meraih gelar sarjananya.

Peran orangtua

Bagi anak-anak penyandang disleksia, dukungan dan peran orangtua sangatlah menentukan. Setidaknya, itu yang dirasakan Aigis. Selain berharap motivasi dari pihak di luar diri, ia juga menekankan, perlunya memberikan rasa percaya pada diri sendiri.

“Camkan bahwa saya mampu dan saya bisa. Dengan begitu, saudara, teman bisa menerima saya. Tetapi, saya berterima kasih, karena kesabaran dan peran orangtua saya bisa seperti sekarang. Saya selalu ingat kata-kata orangtua saya, ‘biar hasilnya jelek, yang penting hasil saya sendiri’. Kata-kata ini membuat saya merasa dipercaya dan mampu,” ungkapnya.

Aigis yakin ia tak sendiri. Di luar sana banyak juga anak-anak penyandang seperti dirinya. Ia berharap, pemerintah memberikan perhatian yang lebih besar bagi anak-anak berkesulitan belajar spesifik seperti dirinya. “Saya yakin, anak-anak yang mengalami disleksia tidak semuanya dari kalangan mampu. Selayaknya pemerintah memberikan perhatian yang lebih baik dan berimbang kepada anak-anak seperti kami,” harapnya.
Sumber

Sunday, August 01, 2010

Kisah Aigis Menjadi Penyandang Disleksia oleh AN Uyung Pramudiarja - detikHealth

Jakarta, Ketika duduk di bangku SMK, Aigis selalu mendapat nilai tertinggi untuk pelajaran mengetik 10 jari (blind system). Siapa sangka, gadis yang kini telah menjadi mahasiswi ini bahkan tidak mampu menghafal abjad dari A sampai Z karena mengidap disleksia. Gejala paling umum pada penyandang disleksia adalah kesulitan membaca dan mengeja. Berbeda dengan gangguan belajar biasa, kesulitan mengeja pada penyandang disleksia bukan disebabkan oleh kurangnya kecerdasan. Gangguan ini merupakan kelainan genetik yang dialami individu dengan Intelegency Quotient (IQ) normal atau bahkan di atas rata-rata. Aigis Arira, seorang penyandang disleksia yang kini berusia 21 tahun mulai bermasalah dalam belajar sejak duduk di bangkub SD. Ketika itu, ia mengalami kesulitan untuk mengerjakan beberapa hal sebagai berikut: 1. Sulit membedakan huruf 'b' dengan 'd' dan sering terbalik menggunakannya 2. Sering salah mengutip dari papan tulis meski selalu duduk paling depan 3. Tidak pernah berhasil menggambar kubus, selalu menjadi trapesium Kondisi ini membuatnya malu kepada guru dan teman sebaya. Ditambah dengan kondisi kelas yang berisi banyak siswa, Aigis semakin sulit untuk mengakrabkan diri dengan guru agar bisa menyampaikan kesulitannya. Beruntung orang tua Aigis cukup peka dengan kesulitan yang dihadapi anaknya. Setelah mencari tahu dari berbagai sumber, akhirnya ketahuan bahwa Aigis menyandang disleksia dan membutuhkan penanganan khusus. Begitu naik ke kelas 3 SD, Aigis dipidahkan ke sekolah khusus SD Pantara Jakarta dengan kelas kecil yang hanya terdiri dari 8 siswa. Pendekatan yang berbeda serta situasi yang lebih kondusif di sekolah baru membuat Aigis lebih lancar dalam belajar. Namun kesulitan kembali dihadapi Aigis saat melanjutkan ke sebuah SMP Negeri di Cimahi, Jawa barat. Lagi-lagi pendekatan di sekolah umum yang dirasakannya kurang personal membuat prestasi belajar Aigis ambruk dan harus puas menduduki ranking 43 dari 44 siswa. Meski merasa tertinggal dalam pelajaran dan pergaulan, Aigis tidak langsung berputus asa. Dengan bantuan kedua orangtua yang selalu mendukungnya, ia akhirnya diberi perlakuan khusus untuk menunjang belajarnya. "Waktu SMP adalah masa terberat saya ketika saya lebih banyak jadi penonton di kelas atau lebih mirip wartawan sebenarnya. Saya hanya mencatat materi semampu saya, lalu orangtua mempelajarinya di rumah untuk dijelaskan lagi ke saya sampai paham," ungkap Aigis dalam Simposium Nasional Dyslexia Awareness di Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta, Minggu (31/7/2010). Begitu lulus SMP, Aigis memilih melanjutkan ke SMK jurusan Rekayasa Perangkat Lunak. Alasan utama Aigis memilih jurusan tersebut adalah karena jumlah siswa di tiap kelas hanya sedikit, di samping ia memang menyukai pelajaran yang lebih banyak praktik dibanding teori. Sejak saat itu, rasa percaya diri mulai tumbuh pada Aigis yang kini duduk di semester 7 Institut Teknologi Harapan Bangsa di Bandung. Di jenjang SMK itulah ia mulai bisa menunjukkan preatasinya dengan meraih nilai tertinggi untuk pelajaran-pelajaran yang ia sukai, misalnya mengetik 10 jari (blind system). Ketua Pelaksana Harian Asosiasi Disleksia Indonesia (ADI), dr Kristiantini Dewi, SpA mengatakan, disleksia merupakan kelainan genetik yang berbasis neurologis. Gangguan ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan kebodohan, tingkat ekonomi maupun motivasi belajar. Meski mengalami kesulitan dalam membaca, menulis dan mengeja, penyandang disleksia memiliki intelejensi normal atau bahkan di atas rata-rata. Kecerdasannya seringkali menonjol di bidang atau area belajar yang lain. "Banyak tokoh besar yang juga menyandang disleksia. Fisikawan Albert Einstein, mantan presiden Amerika George W Bush serta aktor laga Tom Cruise adalah beberapa contoh orang-orang berprestasi yang menyandang diskeksia," ungkap dr Kristiantini yang berpraktik di CDC Santosa bandung International Hospital. (up/ir)
Sumber